Jamaah haji Indonesia tahun ini dan tahun lalu sama, sekitar 210 ribu orang. Untuk melayani angkutan jamaah dari pondokan ke Masjidil Haram, tahun lalu Depag RI menyewa 90 bis. Tahun ini? Konon mencapai 600 unit bis. Hebatnya, layanan bis ini dijalankan operasionalnya oleh tim dari Indonesia sendiri. Tim dengan pengalaman operasional sangat minim ini harus mengkoordinir 600 bis yang sebagian besar dibawa oleh supir berkebangsaan Arab dan harus melayani area yang sangat luas dengan lokasi pondokan saling berjauhan. Jumlah jamaah yang harus dilayani sekitar 147 ribu jamaah yang tinggal di luar Ring-1.
Pada saat mengetahui informasi tersebut, saya sudah langsung bersiap untuk realistis menghadapi keadaan yang akan timbul di Mekkah. Tidak bisa terlalu mengandalkan angkutan bis, harus siap jalan kaki atau naik taksi umum. Harus rela mengatur jadwal ibadah ke Kabah di waktu-waktu yang kurang nyaman demi menghindari rush hour. Dan tentu saja harus siap untuk sabar menghadapi segala situasi.
Walau kenyataan di lapangan memang banyak sekali ketidaknyamanan, alhamdulillah saya mampu menjaga agar tetap dapat berada di Masjidil Haram sesuai harapan walau terkadang harus menguras tenaga ekstra agar bisa sampai tepat waktu.
Cerita-cerita tentang begitu padatnya antrian dan rebutan masuk bis yang dialami jamaah Indonesia adalah benar adanya. Sedih sekali menyaksikan hal itu terjadi, terutama melihat ibu-ibu dan jamaah uzur yang terpaksa harus berlarian dan berdesakan masuk bis. Namun semua itu sebenarnya bisa dengan mudah dihindari jikalau ada sosialisasi pada jamaah untuk mau mengatur jadwal mereka menghindari rush hour.
Contoh kecil adalah saat selesai shalat Isya. Jika kita masuk terminal persis setelah sholat, dipastikan jamaah akan berhadapan dengan lautan jamaah yang berebutan masuk bis yang langka karena kepadatan jalan masuk ke terminal. Namun bila jamaah mau sabar sedikit saja, katakanlah zikir lebih lama plus baca Al-Quran setelah Isya, atau keliling belanja dulu di toko-toko dekat terminal, kemudian masuk terminal sekitar pukul 21.30 keatas, saya pastikan kepadatan sudah jauh berkurang dan bis yang masuk lebih banyak jumlahnya.
Satu hal yang menurut saya membuat gambaran layanan bis ini menjadi sangat buruk adalah karakter jamaah Indonesia sendiri yang sangat buruk. Tidak mau mengalah, tidak tertib, egois, adalah beberapa dari karakter bangsa kita yang sungguh membuat hati miris dan membuat malu dilihat oleh bangsa lain. Jumlah jamaah Turki hampir sama dengan kita, namun ketertiban dan taat azas yang ada di mereka sungguh membuat bangsa kita menjadi tampak begitu “terkebelakang”. Wajar jika hingga kini bangsa kita terus terpuruk dan sulit bersaing dengan bangsa lain.
Pondokan Jamaah Indonesia
Sebagian besar jamaah kita, termasuk kloter kami, ditempatkan di wilayah yang belum pernah ditempati jamaah hajoi sebelumnya. Lokasi kami ada di daerah bernama Hijrah, suatu areal di utara Masjidil Haram yang jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 4-6 km. Namun bila harus menggunakan bis atau berjalan kami, maka jarak tempuh nyata bisa mencapai sekitar 7-8 km. Jika dibandingkan cerita teman-teman yang berhaji 3-4 tahun lalu, jarak ini sungguh jauh. Saat mereka dulu, pondokan semua berada dalam jarak sangat dekat dan bisa ditempuh nyaman dengan berjalan kaki.
Jika melihat peta lokasi pondokan, maka memang secara keseluruhan pondokan Indonesia yang berada diluar ring-1 sungguh jauh. Jalan kaki sangat berat dilakukan, dalam kasus kami diperlukan sekitar 50 menit berjalan kaki dari Masjidil Haram ke pondokan 507 di wilayah Hijrah tempat kami tinggal. Bagi jamaah muda yang masih kuat dan bersemangat tinggi, hal itu masih bisa dilakukan, namun bagi yang lain?
Uniknya lagi, bis tidak bisa hanya menunggu di terminal, namun terpaksa harus menjemput jemaah di pondokan masing-masing karena jauhnya jarak antar satu pondokan ke pondokan lain. Jadi seperti di wilayah Hijrah tempat kami, terminal bis rute B6 ditempatkan persis didepan pondokan kami. Jika hendak berangkat ke Masjidil Haram, maka bis akan berangkat dari terminal dengan sejumlah jamaah yang naik dari teminal, kemudian bis akan berkeliling ke sekitar 5-7 pondokan lain untuk “memungut” penumpang lain. Yang sering terjadi, jamaah dari pondokan yang terjauh terpaksa tidak mendapat tempat karena bis sudah penuh dengan penumpang dari pondokan sebelumnya, padahal bis sudah selalu dipaksakan untuk dipadatkan hingga penuh penumpang yang berdiri.
Madinah, Arafah dan Mina
Untuk pemondokan dan transportasi di Madinah, hampir tidak ada masalah sama sekali, smooth as silk… Semua pondokan dalam jarak tempuh yang cukup dekat dan bisa berjalan kaki. Keadaan di Madinah juga cukup terkontrol karena tidak terjadi penumpukan seluruh jamaah haji dalam kurun waktu tertentu, walau keadaan di Mesjid Nabawi tetap saja sangat padat. Kalaupun ada yang masih bisa diperbaiki adalah kualitas katering bagi jamaah selama di Madinah yang banyak dikeluhkan. Kemudian juga waktu yang terlalu mepet untuk melakukan sholat wajib 40 waktu (sholat arbain). Jika terjadi masalah sedikit saja, maka jadwal sholat bisa berkurang dan tidak mencapai 40 waktu seperti yang dialami telan dari kloter lain.
Kemudian di Arafah dan Mina juga bagi saya sangat lancar, mulai dari pengorganisasian transportasi model taradudi (English: shutle system), pondokan/perkemahan serta konsumsi yang memakai sistem prasmanan dan berlebih-lebihan dari sisi kuantitas. Walau beberapa jamaah masih ngomel soal antrian di toilet dan makan prasmanan, namun bagi saya semuanya masih dalam batas toleransi dan baik. Bahkan nilai plus berikutnya bagi saya adalah kualitas menu baik di Arafah dan Mina yang jauh lebih baik dibanding di Madinah.
Kesimpulan
Secara umum, transportasi di Mekkah adalah titik terlemah dalam penyelenggaraan haji Indonesia tahun ini. Namun kalau mau dicari akar masalahnya, seharusnya Indonesia tidak harus (dan tidak perlu sama sekali) menjalankan armada 600 bis di negeri orang untuk melayani ratusan ribu jamaah. Lebih baik berjibaku (bayar lebih mahal) mencari pondokan yang dalam walking distance (bisa berjalan kaki) dan meninggalkan sama sekali chaos mengurus armada bis di wilayah yang sama sekali berbeda dengan mengurus bis di Pulogadung.
Sementara untuk hal-hal lain mulai dari keberangkatan di embarkasi, penyambutan di Jeddah, antisipasi keterlambatan pesawat saat di Jeddah, penginapan transito di Jeddah, hingga pulang ke embarkasi bagi saya sudah sangat baik, saya merasa beruntung ikut haji tahun ini yang dikelola dengan pengalaman matang penyelenggaraan haji Indonesia yang telah tertempa bertahun-tahun.